Kamis, 26 Februari 2009

Hillary dan Migas Indonesia

Harga energi sesungguhnya bukan merupakan persoalan utama di AS. Masalahnya adalah, persediaan energi fosil dunia akan semakin menipis dan ini ‘diyakini’ bakal mengancam pertumbuhan ekonomi AS.

MENTERI Luar Negeri AS Hillary Rodham Clinton memastikan lawatan perdananya ke Asia, meliputi Jepang, Indonesia, Korea Selatan, dan China. Sejak 20 tahun terakhir, Asia belum pernah menjadi target lawatan perdana. Menlu Condolizza Rice (2005) memulai lawatannya ke Inggris, Jerman, Polandia, dan Timur Tengah.

Lalu, Menlu Colin Powell (2001) ke Meksiko. Menlu Madeleine Albright (1997) ke Italia dan negara-negara Eropa Barat. Menlu Warren Christopher (1993) ke Mesir dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Menlu James Baker III (1989) ke Kanada dan Eropa Barat.

Keputusan Hillary datang ke Indonesia yang dimandatkan langsung oleh Presiden AS ke-44 Barack Husain Obama tidak saja menunjukkan arti penting negara ini bagi AS, dan Jakarta bagi Obama kecil. Tetapi terselip agenda besar, sebagaimana dinyatakan Hillary sendiri “AS dan Indonesia memiliki peluang menguatkan kemitraan dalam pendidikan, energi, dan keamanan pangan.”

Dilihat dari sisi energi, keberadaan sejumlah perusahaan migas AS di Indonesia seperti Exxon, Mobil Oil, dll, sangat strategis untuk terus memanjakan konsumsi energi mereka. Setidaknya, saat penduduk AS hanya 5 persen dari total populasi dunia pada tahun 2008, konsumsi minyak mereka justru mencapai 25 persen.

Karenanya, pembiayaan impor minyak AS bertambah tahun kian meningkat. Tahun 2006 pemerintah AS menganggarkan sekitar 320 miliar dolar AS dan meningkat menjadi 430 miliar dolar AS pada 2008.


Ketergantungan AS pada minyak tidak saja berdampak pada perusakan alam, kemiskinan, pelanggaran HAM, dan sederet prahara lain, tetapi sejumlah negara penghasil seperti Venezuela dan Iran, semakin berani menentang kebijakan politik AS.

Sekutu di Eropa hengkang, dan kini berpaling ke Rusia. Begitulah rilis The albatross of national security AS (2008), yang dimungkin semakin mendorong pemerintahan Obama untuk memastikan hubungan energi AS-Indonesia .

Ketergantungan Energi
Anggota Senat dari Indiana, Richard G Lugar mengakui, kesengsaraan ekonomi akibat resesi justru semakin diperburuk dengan kebijakan pemerintahan AS yang terus melanggengkan pengapalan miliaran dolar di luar negeri untuk pembayaran rancangan undang-undang minyak setempat.

Biaya eksternal ini tergolong besar. Ditambah lagi dengan pembiayaan jaminan keamanan nasional dan kerusakan lingkungan demi kelancaran pasokan minyak ke AS. Fakta ini tak dapat dipungkiri masih saja dilanggengkan pemerintahan Obama.

Apalagi tradisi menahun di AS–bisa jadi tak berubah, bahwa hubungan negara dengan industri minyak sudah menciptakan kesan umum yang berlangsung lama, bahwa the President is an oil-man who believes in the oil economy.

Ketergantungan energi fosil yang oleh mantan President Bush dirangkum dalam lima kata dalam tajuk pidatonya “America is addicted to oil” telah membuat publik gencar menuding AS sebagai biang keladi pemanasan global.

Apakah Obama akan mengubah ketergantungan ini? Tak ada yang bisa memastikan. Yang jelas berbagai langkah memukau Obama dipaparkan saat kampanye di Denver. Ia mengupas rencana seputar kebijakan energi. Dalam pidato kemenangan Obama sebagai presiden AS, belum menyentuh dan berani keluar dari lingkaran America is addicted to oil.

Perdebatan energi di AS, pascapelantikan Obama, menyiratkan sengitnya pertarungan antara kubu realis (pro-minyak) dengan kubu idealis (energi alternatif). Mereka yang mayoritas mendukung energi fosil terus mendiskreditkan pilihan dengan mengatakan, energi alternatif hanya sanggup memenuhi sebagian kecil dari kebutuhan energi AS.

Kepercayaan atas minyak adalah pilihan market place. Mereka yang mengecam ketergantungan AS atas minyak dianggapnya sebagai kelompok yang tak memahami, bahwa setiap pilihan energi memiliki masalah dan keterbatasannya sendiri. Begitu pula dengan energi alternatif.

Karenanya, realisasi kebijakan energi Obama praktis dimulai dari sebuah niatan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang kini mencapai 30 persen, mengatur beban pajak warga Amerika mulai hal-hal kecil hingga pergalon bensin yang dibeli. Pajak keamanan minyak akan menerima setiap sen yang dipukul di pompa bensin dan mengeluarkanya dari saku konsumen.

Migas Indonesia
Bila dilihat dari perkembangan harga bensin AS, kebijakan Obama sesungguhnya bukan hal baru. Pada tahun 2005, warga AS telah membayar 17 persen lebih tinggi untuk harga bensin dibanding tahun sebelumnya. Fakta ini semakin sulit untuk menyebut kebijakan Obama secara serius menghilangkan ketergantungan AS atas minyak.

Apalagi setelah Agen Energi Internasional menaksir kebutuhan AS sebesar 17 triliun dolar AS, dalam bentuk investasi minyak yang secara mayoritas menuju Timur Tengah dan Asia. Lihat saja ambisi perusahaan minyak AS bersama tiga saudara imperialnya. Exxon Mobil (AS) bersama Shell (Belanda), Santos (Australia), dan British Petrolium (Inggris) terus memburu dan menguasai ladang-ladang minyak raksasa di 199 cekungan migas di Indonesia.

Kebijakan kenaikan harga bensin yang diklaim Obama sebagai cara untuk menghilangkan ketergantungan AS atas minyak sesungguhnya merupakan bentuk pengaburan atas fakta, bahwa harga energi sesungguhnya bukan merupakan persoalan utama di AS. Masalahnya adalah, persediaan energi fosil dunia akan semakin menipis dan ini ‘diyakini’ bakal mengancam pertumbuhan ekonomi AS.

Jika ini terjadi, kubu pro-minyak meramalkan, letak kedatangan Hillary ke Indonesia. Tak lain hanya untuk memastikan kelancaran pasokan energi dari Indonesia ke AS.

Apalagi, Indonesia yang merupakan negeri dengan penduduk Muslim terbesar, memungkinkan menjalin hubungan dengan Iran. Kalau ini terjadi AS akan kehilangan salah satu ladang energinya.

Em Lukman Hakim
Pengurus Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)

0 komentar:

Posting Komentar

Zhar't Blogger © 2008 Template by:
TEmplates Zone